November Rain

November awal jadi saksi turun hujan di 2019, kemudian disusul dengan hujan-hujan yang lain yang mendungnya sudah muncul dari dulu. Ada yang aku suka dari bau hujan pertama, tapi bukan bau tanah kering yang tersiram air hujan. Apalah itu namanya, sebagian orang menyukai aroma itu.
Namun bukan bau hujan itu yang aku maksud.

Banyak dentuman kilat yang refleks sampai ke dalam, aku atasi dengan diam sebentar sambil staring back at what you've done. Kadang sampai sedikit basah di ujung pelupuk mata. Lalu kembali meneruskan segala perilaku yang dibuat supaya terlihat "se-biasa mungkin".

Bukan sebentar ketika bersebelahan, kalau dihitung dalam detik entah sudah jutaan bahkan milyaran yang dilewatkan, sangat-sangat cukup untuk mengetahui lebih jauh dan dalam perihal sifat, gerak-gerik, perilaku.
Mungkin sebaliknya, begitupun yang dia rasa cukup dengan kata "mengenal".

Barangkali aku salah dalam memperhatikan, atau terlalu tergesa-gesa dalam menelan sebuah memori yang nyatanya akan berbalik menyerang pikiran.
Aku berada dalam tempat dimana akan terciptanya keadaan fana, terombang-ambing ke kanan dan kiri meminta pertolongan untuk tetap bertahan hidup.

Sebisa aku, kubangun tembok-tembok kecil putihku di halaman belakang rumah. Bagian depan yang sudah kutanami bunga cantik biarlah tumbuh sendiri dengan waktu.
Tapi pondasiku dirasa belum cukup kuat untuk melanjutkan keinginan yang setinggi asa, mudah katanya.
Tapi kok sulit sekali?

Aku beberapa kali melihatmu terlelap dengan indah, bukan seperti sekarang. Yang seperti berlomba-lomba untuk mengejar.
Aku cemburu dengan kesibukan, yang merenggut sepersekian dari waktumu untuk disampingku.

Dimulai dari cerahnya pagi, panasnya terik, ademnya angin sore sampai dinginnya malam. Ada yang berkurang, apa mungkin semesta perlahan memberikan jawaban atas segala keeingintahuanku?

Kalau tidak salah dulu pernah bilang aku ada, tapi kebiasaan  yang mendadak seperti tidak ada.
Kadang hidup selucu itu, kalau ingin cerita aku sudah mengalami hukum alam yang tidak mengenakkan hati. Lalu sulitnya apa?
Bukankah cuma diukur dari lamanya waktu?

Ada juga yang menyentil dengan sarkasme, aku belum cukup menerima dengan lapang. Masih ada sesak yang mereka tidak tahu sumber-sumbernya.

Sering mendengar "Aku tahu apa yang kamu rasa", "Aku bisa ngerasain apa yang kamu rasain".
Itu bullshit, kapasitas manusia dalam penerimaan tidak ada yang sepenuhnya sama. 
Begitu juga dengan dealing with themself, healing, sampai di tahap accepting tidak bisa disamaratakan.


Comments

Popular Posts