Tentang Hal Yang Belum Selesai (2)

Teori tentang betapa luar biasanya Tuhan mendesain sebuah mesin di otak manusia tak juga kunjung usai. Aku pernah bercerita bahwa kita diberi kemampuan di kepala sebagai mesin pencipta kenangan yang tugasnya tidak hanya membuat kenangan-kenangan yang baik. Kemampuan itu juga sanggup menyimpan bagian yang terburuk sekalipun, kita hanya diberi beberapa pilihan untuk memperlakukannya. Yang paling utama tentu saja menyimpan dengan baik kenangan-kenangan yang dianggap baik, banyak juga yang hanya lewat sebentar namun tetap ingin disimpan.

Masalah manusia muncul ketika mempertanyakan bagaimana cara memperlakukan kenangan yang 'tidak baik'. Sebenarnya tidak ada pilihan, tidak perlu dilawan dengan susah payah memaksakan diri untuk menghilangkan. Percayalah, semakin berusaha menghilangkan, semakin susah untuk benar-benar hilang. Lalu bagaimana? Nggak tahu! 😆

Seseorang bercerita kepadaku bahwa yang kita hanya perlu untuk menyadari. Sadar bahwa segala sesuatu yang telah terjadi memang seharusnya terjadi. Tidak ada yang salah, apalagi menyalahkan diri sendiri perihal sebuah kegagalan, sebuah penolakan dan hal tidak mengenakkan hati lainnya.

Kemudian tahap kedua adalah menerima. Terima bahwa kita adalah sebaik-baiknya kita di hari ini, sekarang, saat ini. Belajar tentang ilmu menerima ini yang sangat-sangat sulit. Sedih ngga? Iya. Iya sedih. Aku selalu berdoa untuk diberikan hati yang selapang-lapangnya, diberikan hati yang seluas-luasnya, serta mengurangi yang namanya menghakimi. Baik menghakimi diri sendiri maupun orang lain yang dengan sengaja atau tidak sengaja turut serta hadir dan menyumbangkan kenangan tidak baik di diri kita. 

Kemudian barulah kita berusaha untuk memperbaiki

Seorang teman beberapa kali (banyak) berkata bahwa aku belum selesai. Aku sering menanyakan bagian mana yang masih belum selesai? Tidak tahu, jawabnya.

"Pokoknya belum selese aja" 😂


Banyak sekali hal-hal di hidup yang belum juga selesai, salah satunya sebuah keinginan. Apapun, seperti terpatri di kepala tanpa disadari menjadi sebuah keharusan untuk terpenuhi. Sebuah beban.
Jika direnungkan lebih dalam, terkadang muncul sebuah asumsi bahwa bukankah kalau menggenggam terlalu erat bisa saja menyakiti?
Seperti pasir, semakin digenggam semakin ia lepas.
Begitu? 
Eh, nggak tahuuu! 😆


cr : id.pinterest.com/cynthia.azu
cr : id.pinterest.com/chyntia.azu

Comments

Popular Posts