Belum Pulang
Panjang, tak biasa dengan jeda. Aku mengukir setiap hembusan nafas dan detak jantung itu, disini
Di rumah dengan satu jendela bertirai cokelat, katamu sebentar saja waktu itu
Aku tau, kau bertemu kerikil yang tak sengaja kau tendang dengan sandal gunungmu
Kau ambil dan simpan di tepi jalan penuh rumput, kala itu pula ia tumbuh dengan cepat
Ada apa disana?
Bukankah selalu kau ucap kisah perjalananmu hari jumat kemarin, 
Kenapa malah kau simpan kerikil itu di saku safarimu? Bukannya membiarkan bersama rumput
Aku tiba tiba ingin menjadi bajumu, yang kau pakai selalu bersama jari jari kakimu
Aku rindu membelai garis garis retak di telapak kakimu, yang selalu diakhiri dengan tanya 'kapan jadi halus?'
Aku suka gerimis seperti aku menyukaimu, tapi aku tak suka gerimis di tempat lain, yang selalu potensi akan badai besar
Aku takut
Bantal bantalku belum mampu meredakan badai besar itu, kopi hitam yang kadang menenangkan juga belum mampu
Hingga angin jahat menyelinap lewat tirai kamar
Lampu meredup, keringat dingin, hati kaku
Cepat pulang, sayangku
Panggil namaku, aku butuh
Akan kucium tangan bulatmu, tak perlu dengan perdebatan konyol menjengkelkan
Antara harus kutempelkan tanganmu ke pipiku, atau kutempelkan tanganmu di bibirku
Beloklah ke kanan sebentar, sekedar mencari korek api
Barangkali bisa sedikit memberimu petunjuk jalan
Jangan terburu menyalakan dengan nafsu, 
Itu dingin
Dan berangin
Jangan tumbang, sayangku
Di depan ada kursi kayu
Duduklah
Nyalakan lagi sambil berdoa, dan berniat utuh
Jangan kau khawatirkan sajadah kesayanganmu itu, masih kokoh meski tiap malam basah akan ribuan doa untukmu
Jika ditanya,
Iya.
Belum pulang


Comments
Post a Comment