Rangkaian respon telinga

cr : pinterest

Untuk bisa percaya pada suatu hal kadang harus terlebih dahulu mengalaminya. Jika hanya sekedar 'katanya' mungkin akan terasa biasa. Mendengarkan seolah-olah mengerti lalu sepersekian menit mungkin lupa. Katanya aku seorang pendengar yang baik, ada juga yang menyebutku sebagai anak audio bukan anak visual. Barangkali karena keahlian dalam menangkap suara akhirnya aku menjadi terlalu peka akan beberapa hal yang bisa dianggap berlebihan karena daun dan gendang telinga berkolaborasi dengan cara mengirimkan respon yang cukup cepat ke otak sehingga berasumsi yang tidak-tidak. Padahal itu biasa saja. Dari otak lalu turun ke hati untuk memberikan respon ke yang namanya 'pikiran'. Muncul perasaan tidak tenang karena asumsi yang tidak-tidak tadi. 

Aku seringkali menyalahkan diri sendiri, padahal tidak ada yang salah. Hanya kesakitan kecil yang semakin membesar. Padahal belum tentu tak bermaksud menyakiti dengan sebuah ucapan.

Katanya juga, kesakitan yang paling sakit berasal dari seseorang terdekat. Orang yang dekat. Orang yang sudah dekat. 
Sebelumnya aku tidak percaya, dengan asumsi orang terdekat tidak akan tega untuk menyakiti. Tapi belakangan ini terjadi beberapa kali, ucapan yang kurang enak apabila diucapkan oleh orang terdekat terasa lebih sakit. Kalian boleh menganggapku berlebihan.

Aku masih belajar untuk mengendalikan pikiran agar tidak cepat merespon dengan tindakan. Masih sering gagal dan tak tahan untuk meletus sampai berurai air mata. Apalagi ketika mengetahui sebuah kebohongan, secara refleks menyalahkan diri sendiri kenapa mau dibodohi? Lagi-lagi air mata meletus. Iya, kalian boleh menganggapku berlebihan.

Selain itu aku juga belajar tentang mengutarakan kekecewaan. Tapi masih takut keliru dengan yang namanya penghakiman. Oiya, setelah mengutarakan kekecewaan yang terjadi adalah hati yang lega namun realita menjadi sesak, dada pun ikut sesak.
Apalagi orang yang membuat kecewa bersikeras membela diri bahwa dia tetap dalam jalan yang benar. Bagimana bisa aku masih tahan untuk tidak meletuskan air mata? 
Silahkan menganggapku berlebihan.

Semakin dewasa hanya semakin ingin didengar, bukankah pendengar yang baik juga butuh didengarkan oleh pendengar yang baik? 
Tak perlu menjawab dengan 'yang sabar, yaa..' Untuk semua itu insya Allah I've survive! .
Untuk sampai di tahap ini telah melalui kesakitan panjang. 

Jangan sama ratakan semua manusia dalam kekuatan menahan beban hidup, masing-masing ada porsinya. Kapasitas penerimaan pun berbeda. 




Comments

Popular Posts