Day 5 - My Parents
Duh, day-5 ini bagian tersulit-terberat-terbingung mau mulai dari mana. Membahas tentang orang tua selalu mendadak melankolis. Bukan karena pembawaan aku yang memang kolaborasi sanguinis dan melankolis, yaa. Hehe
Tentang Ibu.
Kalau ditanya 'kenapa panggil ibu? bukan mamah atau yang lain?'
Tidak tahu 😊
Seorang teman berkata bahwa selalu terdengar syahdu ketika memanggil Ibu. Dulu aku sempat berfikir kenapa panggil Ibu, agak kesal karena terdengar seperti memanggil seorang guru. Ga ada bedanya!
Ibuku seorang guru, dulu sebelum ditempatkan di SD beliau mengajar di TK dan madrasah (sekolah agama sore). Aku selalu ngintil ketika Ibu pergi mengajar, karena memang tidak ada yang menjagaku di rumah. Sedari dulu Ibu gemar mengayuh sepeda, aku masih ingat bagaimana senangnya ketika dibonceng menuju ke sekolah. Kala itu aku belum 4 tahun, ya jadi anak bawang yang pengen ikutan belajar di kelas.
Tinggal di Bandung dan jauh dari Ibu semenjak kelas 1 SMK membuatku sedikit belajar tentang bagaimana hidup jadi anak kos. Ibu selalu jadi orang nomor 1 dalam membangunkan untuk sholat subuh. Sampai sekarang, wkwk. Padahal tanpa dibangunkanpun aku sudah bangun, ada yang kurang rasanya kalau tidak ditelpon :)
Sebagai satu-satunya yang bergolongan darah O di rumah, aku selalu diributkan oleh nyamuk. Ibu selalu mengoleskan soffel tengah malam ketika melihat aku ribut dan garuk-garuk karena gatal :(. Ritual ini juga masih terjadi sampai sekarang.
Yang masih ditanya sampai sekarang ketika akan pergi ke Bandung adalah : "Buat ongkosnya masih ada?"
Masa iya mau diterima kalaupun tidak ada juga :(
Ibu yang memasak makanan kesukaan ketika aku pulang, Ibu yang mengantar dan menjemputku ketika pulang dan pergi ke Bandung, ah semuanya Ibu.
Meskipun Ibu bukan tipikal orang tua yang memeluk anaknya dalam menunjukkan tanda sayang, aku tahu beliau menunjukkan dengan cara-cara lain. Ibu tidak pernah marah, tidak pernah bicara dengan nada tinggi, tidak pernah mencubit kalau sedang kesal. Tapi Ibu menangis ketika aku bercerita sesuatu hal dan menangis. Semenjak itu hal-hal sedih tak pernah aku ceritakan ke Ibu.
Untuk yang dekat denganku, teman kos ku pasti pernah ketitipan pesan dari Ibu, kadang aku yang malu karena sering dititipkan.
"Titip Inas ya, anaknya gampang nangis, gapernah dimarahin soalnya, ga bisa dibentak-bentak."
Bapak 1
Bapak aku juga guru SD.
Bapak aku katanya berkumis, bapak aku katanya senang main sama anak kecil, bapak aku katanya sayang sekali sama orang tua, bapak aku katanya orang yang paling sabar, bapak aku katanya pinter masak, bapak aku katanya sayang sama mertua, bapak aku katanya senang jalan-jalan.
Semuanya "katanya".
Kata Ibu, kata nenek, kata kakek, kata paman, kata bibi, kata uwa. Aku tidak pernah tahu aslinya seperti apa. Mentok di album pernikahan.
Bapak aku meninggal di usia 26 menuju 27 tahun karena sakit, muda sekali.
Kalau boleh berkeluh kesah, aku ingin panggil bapak. Aku tidak akan komplain kenapa aku panggil bapak seperti memanggil pak guru.
Ingin dimarahin, dinasehatin, diajak main, dipangku, digendong, dipeluk, dicium, seperti yang orang bilang bagaimana perilaku bapak ketika sedang bermain dengan anak kecil. Tapi dengan anaknya tidak tersampaikan.
Aku ingin cium tangan sebelum dan pulang sekolah, ingin ditelfon ditanya lagi dimana? kenapa belum pulang?
Ingin chat di whatsapp dengan nama kontak 'Bapak'.
Oh iya, minggu kemarin aku iri dengan temanku yang mengupload instagram story sedang video call bersama ayahnya . Dengan caption kurang lebih begini "temen cerita, temen curhat, temen bercanda dan temen pamer".
Ah iri sekali dalam hatiku.
But when my father didn't have my hand, he always had my back.
Ibu pernah bilang kurang lebih seperti ini, "Setelah menikah, Ibu pengen jadi contoh pasangan yang baik buat keluarga Ibu, buat anak-anak Ibu. Bapak itu udah jadi pasangan yang lebih dari cukup buat Ibu, tapi ternyata takdirnya lain, jodoh Ibu pendek. Cuma 6 bulan, ditinggal lagi bahagia-bahagianya, belum pernah berantem."
Bapak 2
Kenapa ada bapak 2?
Ibu menikah lagi ketika aku kelas 4 SD. Namanya juga anak SD, waktu itu aku sempat denial karena khawatir perhatian Ibu akan berkurang. Iya aku posesif, pencemburu. Hahaha
Tapi akhirnya pelan-pelan aku menerima dengan hadirnya adik bayi yang lucu.
Ternyata Tuhan punya rencana lain lagi, Bapak sakit parah dan meninggal ketika aku kelas 2 SMP. Tepat di hari ujian sekolah, tepat di hari wisuda Ibu, tepat menghembuskan nafas terakhir dipangkuanku. Tepat sebulan sebelum pindah ke rumah baru. Saat itu kami masih mengontrak sebuah rumah.
Adikku baru berumur 2,5 tahun, sempat melihat dan digendong bapak, sempat jalan-jalan naik motor dengan bapak, sempat memanggil "bapak".
Lalu Ibu bagaimana?
Hari itu Ibu wisuda, sudah berniat tidak akan hadir di acara wisuda, tapi bapak memaksa untuk pergi. Sendiri. Tanpa pendamping wisuda. Aku dan nenek di rumah menjaga adik dan bapak yang sedang sakit.
Sebelum meninggal bapak sempat meminta tolong untuk mengambilkan handphone, awalnya aku tidak tahu apa yang dia lakukan. Tapi beberapa saat setelah meninggal aku lihat tampilan handphone masih di layar tulis pesan baru untuk Ibu. Beliau sempat menulis "Bu, bapak mau..."
Pesan yang tak pernah selesai diketik, pesan yang tak pernah tersampaikan.
Tidak ada yang memberi tahu, Ibu pulang di sore hari dan kaget melihat rumah yang penuh dengan kursi, bendera kuning, orang banyak, dan berteriak lalu memelukku hampir terjatuh lemas.
Jika sebuah keluarga dikatakan utuh dengan adanya Bapak, Ibu dan anak. Keluargaku bisa dikatakan lebih hebat, dengan 2 bapak yang hebat dan 1 Ibu yang suuuuupeeerrrrheeeebaaaatttt. 💗
Karena aku percaya, one of greathest things a father can do for his children is to love their mother.
Alfatihah :)
Comments
Post a Comment